1.Tradisi Brutal Yang Bermaksud Mendapat Kebaikan
Tradisi merupakan suatau kebiasaan yang dalam bahasa sederhananya
diartikan sebagai sesuatu yang dilakukan sudah sejak lama dan menjadi
bagian dari kelompok atau masyarakat. Di semua daerah terdapat tradisi
yang berbeda beda yang biasanya dipercaya dilakukan untuk mendapat
balasan sesuatu yang baik. Namun hal tersebut terlihat tidak masuk akal
di jaman sekarang jika tradisi tersebut dilakukan dengan kekerasan
seperti di beberapa masyarakat di dunia ini. Berikut tradisi brutal yang bermaksud mendapat kebaikan versi anehdidunia.com
Terdapat tradisi unik di Desa Nahua, Negara Bagian Guerrero, Meksiko. Setiap Mei, puluhan ibu-ibu akan baku pukul di lapangan desa hingga berdarah-darah. Sebelum dimulai, warga membentuk lingkaran besar, lalu perwakilan beberapa dusun, misalnya dari Las Lomas dan La Esperanza, akan maju. Dua wanita dewasa berhadap-hadapan, lalu saling menjambak, menjotos wajah lawannya, bahkan mencolok mata wanita di hadapannya. Setiap ada darah muncrat, warga di lingkaran besar akan bersorak. Darah yang terciprat dari perkelahian sengit para ibu itu akan dikumpulkan di ember. Nantinya, ladang akan disirami darah itu demi memanggil hujan, berujung pada panen yang sukses.
Festival perkelahian kaum ibu itu adalah gabungan antara ritual kuno di
Meksiko dan Katolik. Gereja setempat tidak mendukung tradisi tersebut.
Sebagian warga masih meyakini bahwa mereka perlu melanggengkan
perkelahian itu, agar Dewa Hujan Tlaloc mau memberkahi hasil tani Desa
Nahua "Tidak ada yang peduli menang kalah. Lebih penting bagi warga agar
perkelahian ini menghasilkan banyak darah untuk mengundang hujan," kata
salah satu petani tua di desa Nahua. Terbukti, pada akhir festival
kelahi para ibu ini, semua peserta saling berangkulan. Tidak pernah ada
insiden merembet sesudah acara.
Tradisi Pecahkan Batok Kelapa India
Sahabat anehdidunia.com setiap tahun ribuan warga india pergi ke sebuah
kuil di India selatan untuk melakukan ritual pemecahan batok kelapa
menggunakan kepala. Tradisi memecahkan batok kelapa dengan menggunakan
kepala ini dilakukan oleh semua kalangan, bahkan anak-anakpun
diperbolehkan mengikutinya. Ritual tersebut dimaksudkan sebagai
persembahan kepada dewa. Dalam ritual yang sangat berbahaya ini warga
yang mengikutinya berjongkok dilantai sambil menunggu pendeta kuil
menghampiri lalu memecahkan batok kelapa di kepala mereka. Sebagaian
orang terlihat sangat kesakitan saat batok kepala pecah dikepala mereka,
namun ada juga yang langsung mengumpulkan pecahan batok kelapa sebagai
persembahan kepada dewa.
Bagi mereka yang mempercayai ritual ini, tidak akan merasakan kesakitan.
Seorang wanita menceritakan bahwa dirinya tidak merasakan apa-apa saat
batok kelapa dibenturkan pada kepalanya, dia percaya bahwa dewi telah
menyelamatkannya dan menghilangkan rasa sakitnya. Sejarah ritual
berbahaya ini sendiri berawal ketika pendudukan Inggris di India, saat
itu Inggris mencoba membuat jalur kereta api melintasi daerah Tamil
Nadu, Namun warga menolaj rencana Inggris tersebut. Karena penolakan
tersebut Inggris mengajukan syarat kepada warga, jika warga bisa
memecahkan batu atau batok kelapa menggunakan kepala maka jalur kereta
akan dirubah. Sejak saat itu setiap tahunnya hingga sekarang ritual ini
dilakukan dan berhasil menarik ribuan pengunjung. Ritual memecahkan
batok kelapa menggunakan kepala ini sangat berbahaya dan beresiko,
menurut profesor Peethambaran seperti dikutip dari Oddity Central
"Tulang tengkorak luar akan mengalami kerusakan".
Tradisi Gotmar Mela India
Sejak 300 tahun lalu, dua desa Distrik Ahmednagar, Maharashtra, India,
yaitu Pandhurna dan Sawargaon memang selalu bertikai. Keduanya berada di
tepi Sungai Jaam. Entah apa awal mulanya, desa tersebut seakan tidak
pernah rukun. Oleh karena bentrok antar keduanya, sudah ratusan orang
luka-luka dan bahkan ada juga yang meninggal dunia. Akan tetapi, perang
itu saat ini sudah tidak ada. Kedua desa telah bersepakat untuk damai.
Suasana mencekam telah berganti menjadi sebuah festival untuk mengenang
tragedi berdarah tersebut, namanya Gotmar Mela. Festival ini berlangsung
di hari kedua Bhadrapad, bulan baru yang biasanya jatuh pada tanggal 23
Agustus hingga 22 September. Saat inilah masyarakat Pandhurna dan
Sawargaon berkumpul di tepi sungai dan mempersenjatai diri mereka dengan
batu. Terdengar agak seram memang, sebuah festival yang diikuti semua
kalangan ini adalah kegiatan saling lempar batu.
Masing-masing desa menjadi satu kelompok. Keduanya memperebutkan bendera
yang sebelumnya diikatkan di atas pohon. Masing-masing kelompok harus
mengatur strategi agar bisa mendapatkan bendera tersebut. Ini memang
tidak mudah, selain letak bendera yang ada di atas pohon, setiap orang
yang akan naik akan selalu diganggu oleh anggota kelompok lain. Tentu
saja, melempar batu adalah satu-satunya cara agar lawan tidak bisa
mengambil bendera. Bisa dikatakan bahwa ini adalah festival paling
berdarah di dunia. Pemerintah setempat juga telah melarang kegiatan ini
berlangsung, tapi masyarakat Pandhurna dan Sawargao tetap saja
melanjutkan tradisi mereka. Pada tahun 2001, pernah juga diusulkan
senjata akan diganti menjadi bola karet, tapi hal tersebut tidak
didengarkan oleh kedua desa ini. Pada tanggal 24 Agustus lalu, Festival
Gormar Mela telah berlangsung. Setidaknya ada 329 orang yang terluka
selama perang batu tersebut, 7 di antaranya masih dalam kondisi kritis.
Akan tetapi, ini termasuk tahun yang baik, karena pada tahun 2008 lalu
tercatat 800 orang luka dan satu tewas.
Tradisi Perang Rocket Chios Yunani
Setiap tahun pada hari Paskah, dua gereja di sebuah pulau kecil bernama
Chios, Yunani, menggelar perang kembang api. Kedua gereja itu saling
menembakkan ribuan kembang api ke satu sama lain. Dua gereja ortodoks
(Saint Mark dan Panagia Erithiani) di kota Vrodandos berusaha memukul
lonceng gereja satu sama lain dengan menembakkan kembang api. Tentu
saja, tidak semua kembang api dapat mencapai target dengan tepat.
Beberapa di antara mereka sering kali meleset dan membuat para warga
terlihat panik berlarian untuk mencari perlindungan. Warga Vrodandos
membutuhkan beberapa bulan untuk mempersiapkan tradisi unik tersebut.
Sekitar 150 orang terlibat dalam pembuatan lebih dari 25.000 kembang api
tersebut. Tidak semua warga menyukai tradisi berbahaya ini. Kegiatan
itu telah menyebabkan beberapa kasus kebakaran dan juga kasus kematian.
Sejumlah warga sudah mulai menyuarakan keprihatinan mereka dan berusaha
untuk mendorong dihentikannya tradisi tersebut. Kekhawatiran ini
tampaknya tidak terlalu mengganggu mereka yang menyukainya. Pada hari
Paskah kemarin, tradisi ini tetap dilaksanakan dan puluhan ribu roket
ditembakkan ke udara. Ribuan orang tampak menikmati tradisi itu sembari
melihat warna langit yang berkelap-kelip karena efek cahaya kembang api.
Asal-usul tradisi ini membawa kita kembali ke abad ke-19, ketika pulau
Chios diduduki oleh Ottoman. Saat itu, orang pribumi di pulau ini
memiliki kapal yang dilengkapi dengan meriam untuk melawan bajak laut.
Namun, rupanya para warga juga suka menembakkan meriam mereka saat
merayakan Paskah. Ketika penjajah Ottoman datang ke pulau itu, mereka
menyita meriam warga untuk mencegah pemberontakan. Sebagai gantinya,
para warga beralih menembakkan kembang api. Dan tradisi ini tidak pernah
berhenti sejak saat itu.
Tradisi Onbashira Jepang
Festival Onbashira di Nagano wilayah Jepang telah secara tradisional dirayakan tanpa terputus selama 1200 tahun terakhir . Kata Onbashira harfiah diterjemahkan sebagai ” pilar suci” , melambangkan pembaharuan Suwa Grand Shrine . Ini terdiri dari dua tahap : Yamadashi diterjemahkan sebagai ” keluar dari pegunungan ” yang diselenggarakan pada bulan April seperti untuk Satobiki diadakan pada bulan Mei. Sebelum festival dimulai , 16 batang pohon dipotong dari 200 tahun pohon cemara Jepang. Setiap pohon bisa sampai 1 meter di seberang , 16 meter dan berat sampai 12 ton . Tim pria mempertaruhkan hidup mereka dengan memanjat pada batang dan naik sepanjang jalan menuruni lereng berlumpur , dibutuhkan 3 hari untuk memindahkan batang lebih dari 10 kilometer ke kuil . Batang pohon besar yang beratnya sekitar 7 ton, diluncurkan menuruni lereng dengan sudut kemiringan 40 derajat. Saat batang pohon meluncur, para pria pemberani melompat dan duduk di atasnya. Karena kecepatannya cukup tinggi, beberapa orang terlempar atau tergilas. Di antara mereka ada yang tewas atau cedera karena tertimpa pohon yang sangat berat